Berbicara tentang dosa, terkadang --tanpa disadari atau tidak-- kita kambing hitamkan setan. Setan itu sebenarnya mempunyai kemampuan yang sangat mimim; sekedar mengganggu, menggoda, atau mengiming-iming, jadi sifatnya sangat temporal. Berbeda dengan hawa nafsu kita yang serakah, rakus, yang tidak mengenal batas akhir dan tidak mengenal batas kepuasan. Kalau godaan setan bersifat temporal, godaan hawa nafsu di mana-mana selalu ada.*Dosa itu konsep agama: sekularisme dan atheisme hanya mengenal 'kesalahan', yang berskala horisontal. Sementara 'dosa' berskala horisontal sekaligus vertikal.
Kalau digambar, horisontal-vertikal itu berbentuk salib. Salib itu suatu tahap pencapaian ilmu dan pengetahuan tentang kebenaran. Kalau anda mendirikan sebatang kayu di atas tanah, kayu itu akan gampang jatuh kecuali anda tancapkan. Tancapan kayu itu adalah garis bawah salib. Kalau anda ingin berdirinya kayu itu kokoh, letakkan dua kayu lain di bagian kanan dan kiri kayu yang berdiri, tempelkan, disambung dengan paku, sehingga mengukuhkan tegaknya kayu yang berdiri di atas tanah.
Ilmu salib memberi hikmah bahwa segala mekanisme sosial yang dilangsungkan hanya dengan kesadaran horisontal, tidak memiliki kekokohan sejarah, lambat atau cepat akan oleng dan ambruk. Kesadaran dan kepekaan terhadap dosa adalah tancapan ke bawah kayu salib: ia memberi bekal kepada manusia untuk menyelamatkan kehidupannya dari ancaman keambrukan. Kayu yang tegak ke atas sesungguhnya secara intelektual dan spiritual mengarah tak terbatas ke atas --seorang muslim ketika bersujud mengucapkan "subhana rabbiyal a'la wabihamdih" (maha suci Allah yang Maha Tinggi)--. Panjang kayu salib ke bawah paling jauh sebatas bulatan bumi, namun yang ke atas jaraknya tak terukur kecuali dengan kerinduan rohani.
Kalau memakai perspektif lain: kayu yang memanjang ke kanan dan ke kiri adalah lambang persaudaraan basyariyah, cinta kasih sosial atau hablun minannas. Kayu vertikal ke bawah adalah kematangan kultural setiap manusia yang bergaul, sedang kayu yang ke atas adalah kadar dan kesabaran manusia dalam melakukan thariqat yang dipandu oleh syari'at, mencapai tahap demi tahap ma'rifat sesuai dengan pencapaian demi pencapaian haqiqat-Nya. Gambar salib itu menggambarkan struktur dasar bangunan hidup manusia di bawah sunnah Allah. Dalam perspektif kebersamaan, kayu kiri kanan itu tak terbatas jumlahnya karena kiri kanan berada dalam skala 'lingkaran'. Bahkan kemudian skalanya 'bulatan': kumpulan lingkaran-lingkaran tak terhingga.
Jadi, salib menjadi ka'bah, kemudian dithariqati oleh manusia dengan aktivitas thawaf --menciptakan bulatan inna lillahi wainna ilaihi raji'un--. Thawaf adalah puncak ilmu Islam. Tetapi sebagai wacana dasar, salib sangat menjelaskan dialektika horisontal-vertikal setiap kejadian dan perilaku manusia.
Kalau anda mencuri sebatang jarum dari rumah tetangga, yang berposisi di-dhalim-i bukan hanya tetangga anda melainkan juga Allah. Dengan kata lain, anda tidak hanya melakukan kesalahan kepada tetangga, tetapi juga berdosa kepada Allah.*
________________
*Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siraj, Kiai Menggugat, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
*Emha Ainun Najib, Tidak. Jibril Tidak Pensiun, hal.170-172, Yogyakarta: Progress, 2007.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar