Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Ibnu Batutah di Layar Lebar

Bagi banyak Muslim di seluruh dunia, nama Ibnu Batutah membangkitkan rasa bangga dan bayangan akan sebuah zaman keemasan dalam sejarah Islam. Rihlah, salah satu catatan perjalanan terbesar yang pernah ditulis, telah mewariskan secara turun temurun kisah-kisah perjalanan siang dan malam dari petualang abad ke-14 tersebut untuk mencapai Mekah.

Sepanjang tahun ini, kisah berumur 700 tahun ini dihadirkan ke layar lebar di lebih dari 12 teater IMAX di seluruh dunia. Journey to Mecca: In the footsteps of Ibn Batuta sebagian besar gambarnya diambil di Maroko dengan memadukan drama dan film documenter untuk menghidupkan kembali sebuah cerita petualangan klasik.


British Film Institute baru-baru ini menayangkan secara khusus film tersebut di teater IMAX London untuk menyemarakkan Idul Adha. Sebelum penayangan, sang produser film. Jonathan Barker memberi sambutan di hadapan hadirin yang dipenuhi para pengagum Ibnu Batutah dan menjelaskan visinya tentang film ini, yaitu “untuk memperingati seorang pahlawan Muslim terkenal” dan “untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang sosok sejarah yang tak banyak diketahui oleh non-Muslim.”


Difilmkan dalam format yang menayangkan gambar dalam ukuran dan resolusi yang lebih besar dari sistem film konvensional, IMAX menciptakan pengalaman visual unik yang dahsyat. Tampilan yang dramatis dengan lanskap gurun dan pengambilan gambar dari udara yang mendebarkan membawa penonton seolah-olah sedang berada dalam perjalanan bersama Ibnu Batutah dari Tanjah ke Mekah. Film ini bahkan menjadikan mimpinya untuk dapat “terbang ke Mekah” tampak hidup. Pemandangan “lembah kematian”, tayangan tentang komunitas kafilah dalam perjalanan dari Damaskus ke Mekah dan penggambara haji di zaman modern, menjadi bayangan yang tak terlupakan dan berbekas dalam pikiran.

Dengan menyelang-nyelingkan gambaran haji abad ke-14 dengan haji abad ke-21, para penonton diajak melakukan sebuah ekspedisi yang membawa mereka ke dua dunia yang paralel: masa lalu dan masa kini. Kekuatan visual menggambarkan sebuah ritual yang tetap sama selama berabad-abad. Dibalut dengan tamsil indah yang dinarasikan oleh suara akrab aktor Ben Kingsley, menyuguhkan penjelasan yang simplistik dan simbolik tentang makna spiritual dari ritual-ritual seperti mengitari Ka’bah (tawaf): “mencerminkan pergerakan tujuh lapis surga.”

Perhatian akan detil juga tampak, baik secara visual maupun dalam jalan cerita Journey to Mecca. Kalimat seperti: “Jika pun saya harus mati, biarlah saya mati dalam perjalanan ke Mekah,” diambil dari koleksi catatan Ibnu Batutah dan dimasukkan utuh dalam narasi sehingga memberikan nilai otentik pada sebuah reka ulang modern. Ka’bah versi abad ke-14, yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia, secara teliti direproduksi di Maroko untuk menggambarkan bagaimana bentuk Ka’bah yang sesungguhnya pada masa itu.

Chems Eddine Zinoun
Lebih jauh, tokoh Ibnu Batutah sebagai peran utama secara meyakinkan dilakoni oleh aktor Maroko, Chems Eddine Zinoun. Penampilannya berhasil memancarkan kharisma salah seorang pahlawan Muslim yang paling dihormati. Sebuah peran yang menjadi warisannya bagi dunia, mengingat dia secara tragis meninggal dua minggu setelah menyelesaikan film tersebut.

Film-film seperti The Message, Lion of the Desert, dan penggambaran tokoh sultan Mesir dan Syria abad ke-12, Salahuddin Yusuf bin Ayub (Saladin), dalam Kingdom of Heaven adalah beberapa dari sangat sedikit penggambaran yang baik tentang tokoh-tokoh dan tema-tema dalam sejarah Islam oleh para pembuat film Barat. Kisah tentang Ibnu Batutah ini memiliki perpaduan sempurna untuk masuk deretan kisah epik yang menghibur. Meskipun film ini berhasil menampilkan sosok seorang pahlawan Muslim kenamaan, masih perlu dilihat apakah film ini juga akan berhasil menjadi bagian dari arus utama seperti yang berhasil dilakukan oleh yang lain.

Kekurangan dari medium IMAX adalah bahwa penyebarannya terbatas pada para penonton yang mengunjungi museum atau pusat pengetahuan karena teater dengan layar yang begitu besar biasanya berada di tempat-tempat tersebut. Oleh karenanya, penonton yang menjadi sasarannya menjadi sangat spesifik. Dengan 75% dari penonton di penayangan IMAX di Toronto adalah umat Muslim. Popularitas film ini akan banyak bergantung pada promosi di kalangan akar rumput dan upaya para pemimpin umat Islam untuk membangkitkan minat menonton. (msi.altmuslim)

__________________
Nabila Pathan, Majalah Mata Air, hal: 62-63. Edisi 33 Tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ar Yu ReDEY..?!