Pengalaman pahit bangsa kita selama ini yang ditimpa berbagai konflik dan kerusuhan, mengisyaratkan bahwa keberagaman bangsa Indonesia , apabila tidak disikapi secara jernih dan bijak, akan menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Kita patut menyayangkan tatkala para tokoh agama dan masyarakat menyeru untuk segera mencairkan hubungan antar umat beragama, termasuk untuk menghapus dikotomi “pribumi” dan “non-pribumi”, para penyelenggara agama tampak adem-ayem saja. Setelah ribuan korban jatuh dalam sejumlah konflik agama dan kerusuhan rasial, pemerintah baru mengambil langkah-langkah konstruktif demi tercapainya kesatuan dan persatuan bangsa.
Untuk itu, kaum Muslim sebagai mayoritas bangsa secara kuantitatif, hauslah memberikan teladan dalam mewujudkan persatuan, kesatuan, dan kedamaian di tengah-tengah pluralitas dan kemajemukan bangsa ini.. pengalaman Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa kesadaran pluralitas manusia merupakan sikap dan komitmen umat beragama dalam upaya menghindari pencampuradukan antara kepentingan politik dan isu-isu agama. Agama memang bukan faktor pemicu berbagai perselisihan antar-umat beragama. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw pernah berpesan kepada para sahabatnya bahwa jika suatu saat nanti umat Islam berhasil mencapai Mesir dalam futuhat kelak, yang harus diperhatikan adalah memperlakukan masyarakat Mesir dengan baik tanpa terkecuali. Sikap simpatik ini disampaikan Nabi Saw ketika menerima hadiah persahabatan dari Gubernur Mesir, Muqaiqis, yang notabene seorang non-Muslim (yakni penganut Kristen Ortodoks). Ramalan Nabi ini pun terbukti. Dan khalifah Umar ibn al-Khattab berpesan kepada ‘Amr ibn ‘Ash yang berhasil menguasai Mesir agar memperlaukan rakyat Mesir secara manusiawi.
Sejarah panjang umat beragama itu telah menunjukkan bahwa manusia mampu mengelola pluralisme dengan baik. Sebenarnya, jika kita teliti lebih jauh, pluralisme juga mencapai puncak harmoni ketika manusia berbicara tentang “pintu-pintu menuju Tuhan”. Dalam Islam, Dzunnun al-Mishri, seorang tokoh sufi terkemuka, merumuskannya dalam konsep ma’rifat yang identic dengan teori gnosis filsafat Yunani yang pernah popular di Mesir. Mesir, terutama kota Iskandariah, merupakan pusat penyebaran gnosis pra-Islam. Seorang orientalis Jerman pemerhati sastra Arab, Adam Mitz, mengungkapakan bahwa Ephiphanius pernah menggambarkan kondisi Mesir pada abad ke-4 M, yang ketika itu masih banyak penganut gnosis yang sangat berpengaruh. Kenyataannya, madzhab dunia yang cukup signifikan beberapa abad sebelum Islam (abad ke- hingga pertengahan abad ke-7 M) adalah madzhab Gnosis. Kemudian pada tahun 200 H, di Alexandria muncul satu kelompok yang menamakan diri sufi. Dan, sulit dimungkiri kenyataan berikut bahwa tasawuf falsafi identik dengan madzhab Gnosis; dan ma’rifat sufistik pada hakikatnya adalah ‘irfan atau gnosis.
Dalam agama Yahudi, gnosisme mengkristal dalam tradisi “Kabbala” (Kapitalistik). Filsuf Yahudi terbesar, Phylon,1 adalah seorang gnosis yang berpengaruh besar terhadap agama Nasrani, khususnya terhadap penginjil keempat, Yohannes.2 Oleh karena itulah, seperti diungkap Ali Syami an-Nasysyar, konsep ketuhanan agama Nasrani identik dengan tradisi Gnosis. Sedangkan dalam agama Hindu, konsep gnosis dapat ditemui dalam kitab Vedanta dan Upanishad. Uphanishad adalah intisari filsafat dan pemikiran intuitif Hindu yang menggambarkan puncak rahasia sufistik. Ia mengandung sejumlah observasi mediatif terhadap manusia, alam dan dewa-dewa, yang tersenbunyi di balik ritual, formalitas, sembahyang, pengorbanan, dan legenda. Kedua kitab tersebut merupakan penjelasan dan komentar atas kitab suci Veda. Dalam kitab Uphanisad disebutkan, kebebasan bisa diperoleh dengan dua cara: pertama, ma’rifat untuk membebaskan diri dari mata rantai kesalahan, lalu bersatu dengan Brahmana (Yang Absolut). Kedua, membatasi manusia dalam jiwanya, dan berkonsentrasi pada Yang Absolut yang azali. Walhasil, jika manusia memahami dengan benar makna keberagamannya, ia akan menyikapi pluralisme sebagai sesuatu yang niscaya. Sebab, muara keberagaman dan pluralitas agama-agama itu adalah menuju ma’rifatullah, ma’rifat kepada Allah.
Allah Swt tidak menjadikan manusia ini seragam. Dia menciptakan mereka bersuku-suku, beragam agama, bahasa, kultur, status sosial dan lainnya. Dengan demikian, dengan kondisi heterogen dan majemuk tersebut, tercipta kehidupan yang inovatif, kreatif, dan kompetitif. Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya (yakni kemajemukan itu) kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS al-Maidah [5]: 48)
Dengan demikian, berdirinya NKRI di atas prinsip-prinsip demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia, dan BhinekaTunggal Ika, merupakan refleksi ajaran Islam yang dipesankan Nabi Saw, meskipun tidak menggunakan atribut-atribut Islam. Islam tidak menoleransi pemanfaatan bendera Islam—termasuk atribut “Negara Islam”—hanya sebatas kepentingan sesaat dan sektarian, terlebih hanya sebagai pemuas nafsu dan kepentingan tertentu. Melalui penyelenggaraan yang demokratis, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia ini, konstruksi persaudaraan sejati dalam pluralitas bangsa Indonesia akan tumbuh subur di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945.
Lalu, bagaimana dengan sebutan pluralisme itu sendiri? Bukankah itu dianggap problematik? Apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa pada Juli 2005 lalu tentang haramnya pluralisme?
Memang, sejak negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam ,mendapatkan kemerdekaannya, mereka sering mengalami distorsi konseptual. Hal ini setidaknya berkaitan dengan dua persoalan: pertama, kecenderungan umat Islam mempertentangkan antara konsep-konsep yang dianggap bersifat barat dan yang “asli”, indigenous. Akibatnya, semua yang bersifat Barat diharamkan karena dianggap “tidak sesuai dengan nilai agama”. Kedua, pada tataran akademik, hamper tidak pernah ada studi empiric yang dilakukan umat Islam tentang ide atau konsep-konsep dari Barat. Dengan demikian, umat Islam tidak mengetahui secara pasti apakah konsep-konsep itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
Wacana pluralisme, humanisme, demokrasi, dan universalisme merupakan konsep-konsep yang bersifat universal dengan setting sosial yang bersifat lokal. Berbagai konsep tersebut kemudian mengalami sosialisasi menembus batas negara hingga merasuk ke semua lapisan masyarakat di belahan dunia. Konsep-konsep tersebut dengan cepat mengglobal karena isu-isu kemanusiaan menjadi acuan bersama. Lahirnya konsep-konsep tersebut di Negara-negara maju ikut pula mendorong proses ekspansinya ke negara-negara yang lebih terbelakang.
Memang tidak mudah mengenalkan konsep baru di kalangan umat Islam. Seideal apapun sebuah konsep, hal itu bisa menjadi eksklusif ketika bercampur baur dengan isu-isu lainnya yang juga krusial, seperti soal ancaman “hegemoni” negara besar terhadap negara kecil, orientalisme, westernisasi, sekularisasi, dan lainnya. Oleh karena itu, upaya klarifikasi dan verifikasi perlu terus digalakkan.
Menurut penulis, sebuah konsep dapat diterima apabila telah memenuhi dua prinsip utama: pertama, prinsip legitimasi, yakni sebuah konsep sudah terumuskan melalui standar ilmiah sekaligus memberikan bukti positif bagi proses kemajuan kehidupan manusia, dengan merujuk kepada beberapa negara yang sebelumnya telah menerapkan onsep yang sama. Kedua, prinsip universalitas, yaitu bahwa konsep itu mengandung nilai-nilai universal kemanusiaan. Dalam hal ini, tidak menjadi persoalan apabila konsep tersebut terumuskan melalui setting yang bersifat local. Tentu saja sebuah konsep membutuhkan selektivitas tindakan (selectivity of action), terutama berkaitan dengan relevansi penerapannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang ada.
Uamt Islam bukan mustahil memerlukan proses indigenisasi konseptual, terutama konsep pluralisme sepanjang hal itu mampu memberikan solusi atas persoalan-persoalan kemanusiaan. Indigenisasi konseptual tidak perlu ditakuti sepanjang konsep tersebut telah memenuhi kedua prinsip tadi. Di samping itu, masalah-masalah kemanusiaan di belahan dunia mana pun pada dasarnya adalah sama—ketidakadilan, kemiskinan, dan kezaliman suatu kelompok atas kelompokyang lain. Poin ini penting karena indigenisasi konseptual itu positif bagi umat Islam untuk menghapus titik-titik kecurigaan yang telah berlangsung cukup lama. Sebab, perubahan suatu masyarakat tanpa arah tertentu berpotensi menumbuhkan kondisi yang lebih buru disbanding perubahan masyarakat yang telah terkonseptualkan dengan matang. Walhasil, indigenisasi pluralisme dalam konteks umat Islam tidak akan membahayakan sepanjang tetap mempertahankan spesifikasi ajaran Islam dan tetap berpijak pada prinsip-prinsip universal. Jadi, tidak perlu, misalnya, mengeluarkan fatwa halal-haram, yang justru kian membuat bingung umat.
_______________
1 Philo dari Alexandria (30 SM-50 M), tokoh pemikir Yahudi-Helenis terkenal. Dia tidak menguasai bahasa Ibrani sehingga selalu membawa Taurat berbahasa Yunani dan mengomentarinya dengan bahasa Yunani. Dia tidak memisahkan antara agama dan fisafat, tetapi dia menjadikan agama sebagai landasan, dan mengomentarinya dengan filsafat. Di antara pendapatnya yang terkenal adalah: Allah bukan Tuhan Isra’il saja, melainkan Tuhan seluruh alam; nama-namanya menunjukkan universalitas; dan tujuan jiwa adalah mencapai Allah dan bersatu dengan-Nya. Lihat Yusuf Karam, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, hal: 248-251.
2 Umat Nasrani menganggap bahwa penulis Injil keempat adalah Yohannes bin Zabadi, saudara Ya’qub Agung, seolah seorang hewari yang berjumlah dua belas. Ibunya bernama Salomi, wanita suci mengikuti Isa al-Masih. Al-Masih memanggil Yohannes dengan sebutan murid terkasih. Sebenarnya, banyak peneliti Nasrani menentang teori bahwa penulis Injil keempat adalah Yohannes al-Hawari. Menurut Stadlin, penulis Injil Yohannes adalah salah satu murid al-Iskandaria. Demikian pula pendapat Bert Sneider dalam Encyclopedia Britania.
Sumber: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, hal: 288-292. Jakarta Selatan:Yayasan Khas, 2010





Tidak ada komentar:
Posting Komentar