....... "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. ....... (QS Maryam [19]:33-34)
Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap muslim harus percaya kepada Isa as. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita moohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa as. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, seraya bersabda: “Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa as.”
Memang, banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa as. datang membawa kasih, “kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu.” Muhammad saw. datang membawa rahmat, “rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia”, sedangkan Muhammad saw. diperintah oleh Allah untuk berkata: “aku manusia seperti kamu.” Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jairus yang sakit telah mati, al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, “Dia tidak mati, tetapi tidur.” Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: “Matahari mengalami gerhana karena kematiannya.” Muhammad saw. lalu menegur, “Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang.” Keduanya datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas –dhu’afa dan al-mustadh’afin dalam istilah al-Quran.
Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa’ (kata sepakat) yang ditawarkan al-Quran kepada penganut Kristen dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu? Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.
Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.
Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapt mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktifis apapun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal.
Adakah kacamata lain? Mungkin!
Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan ”Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
Tidaklah keliru dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tutuntunan keharmonisan hubungan.
Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.
_____________________
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, hal: 370-373, Bandung: Mizan, 1994.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar