Pernyataan di atas memang sangat menggelitik kita. Jawabannya, “Boleh jadi ada,” begitu ucap sementara yang ragu. “Tetapi,” lanjutnya, “kita tidak mengetahui siapa dia, karena berita tentang keberhasilan itu disembunyikan setelah tersebarnya agama Islam atau akibat rasa takut terhadap penguasa Muslim—bila tantangan atau berita keberhasilan itu disebarluaskan.”
Pandangan ini tidak dapat diterima oleh berbagai sebab, antara lain, pertama, amat sulit menyembunyikan suatu berita penting menyangkut suatu persoalan yang menjadi perhatian masyarakat umum. Bagaimana mungkin keberhasilan menandingi al-Quran dapat disembunyikan, sedangkan al-Quran sendiri mengaak seluruh manusia—bahkan secara bersama-sama—untuk menandinginya?
Takut memang dapat menghalangi seseorang untuk mengemukakan pendapatnya, tetapi rasa takut ini tidak dapat mengidap semua orang sepanjang satu bahkan puluhan generasi, sehingga jika memang ada, pasti terdengar juga.
Dalam sejarah Islam tidak dikenal adanya larangan mengeluarkan pendapat, bahkan sejarah menunjukkan perdebatan menyangkut kehadiran nabi dan kebenaran ajaran Islam tercatat dalam kepustakaan Islam. Kisah Ibnu Rawandi dan pendapat-pendapatnya yang minor tentang agama, kenabian dan al-Quran misalnya, dapat dibaca hingga kini.
Kedua, sejarah telah membuktikan adanya orang-orang yang berusaha menandingi al-Quran. Sejarah juga meriwayatka ucapan-ucapan mereka, namun pada akhirnya usaha mereka berakhir dengan kegagalan. Bahkan sekian banyak diantara meraka yang menyadari sendiri kegagalan mereka.
Ketiga, pakar-pakar bahasa Arab—non Muslim sekalipun—hingga kini mengakui keindahan bahasa al-Quran dan kemukjizatannya. Prof. Isa J. Boullata, Guru Besar Universitas McGill di Kanada dan beragama Kristen adalah salah seorang yang mengajarkan al-Quran dari segi keindahan bahasanya, baik di McGill Kanada maupun di IAIN Jakarta.
Keempat, sejarah menginformasikan adanya upaya-upaya menandingi a-Quran dari beberapa gelintir manusia, tetapi apa yang mereka upayakan dinilai oleh para kritikus susastra sebagai hal yang amat sederhana. Contohnya, Musailamah al-Kadzdzab, seorang arab asal Yaman yang mengaku mendapatkan wahyu. Dia menyampaikan wahyu-wahyu itu antara lain: al-fil, wa ma adraka malfil, lahu khurrtumun tawil, wa dzanabun atsil, wa ma dzaka min khalqi rabbina biqalil. (gajah, apakah gajah, tahukah engkau apa gajah? Dia mempunyai belalai yang panjang, dan ekor yang mantab. Itu bukanlah bagian dari ciptaan Tuhan kita yang kecil).
Anda lihat sendiri, bukan hanya makna dan pesan yang dikandung kalimat-kalimat tersebut sangat sederhana, tetapi juga kata-kata yang digunakan bukan pada tempatnya. Bahasa Arab tidak menggunakan kata Wa ma adraka kecuali dalam hal-hal yang amat agung lagi sulit dijangkau hakikatnya. Karena itu, al-Quran tidak menggunakan kalimat itu, kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang tertentu yang gemerlapnya menembus cakrawala dan perjuangan mendaki menuju hadirat Ilahi. Bukannya semacam apa yang diungkapkan di sini, tentang gajah, belalai dan ekornya.
Demikianlah, terlihat bahwa berita tentang adanya yang berupaya menantang al-Quran cukup tersebar, hanya saja tidak dihiraukan, karena memang mutunya sangat rendah.
__________________
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Majalah Mata Air, hal: 11. Edisi 29 Tahun 2009.




sukses sob.. #38.. thanks ya..
BalasHapussukses selalu untuk blog ini..
BalasHapustrimakasih kawan..
BalasHapus