
Oleh: Husein Muhammad. Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon; Komisioner pada Komnas Perempuan.
Praktik keberagamaan kaum muslim pasca- Nabi Muhammad didasarkan pada pandangan para penafsir teks-teks kitab suci dan tradisi Nabi. Sebagai produk, penafsiran tidaklah tunggal.
Kapan umat Islam mulai puasa Ramadan dan mengakhirinya, misalnya,menghasilkan jawaban yang berbeda-beda, meski semuanya merujuk pada narasumber yang sama.
Adalah menarik bahwa para ahli hukum Islam sungguh arif. Mereka sangat memahami benar perbedaan-perbedaan di antara mereka,dan atas perbedaan- perbedaan itu pula mereka masing-masing saling menghargai dan menghormati.
Mereka selalu mengutip pernyataan Nabi Saw, “Jika seseorang telah berusaha maksimal menggali (berijtihad), lalu menemukan hukum syariah dan ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala dan jika keliru dia memperoleh satu pahala.” Dari situ mereka kemudian berkata,“Pendapat kami benar, meskipun boleh jadi keliru, dan pendapat orang lain keliru, meskipun boleh jadi benar.” Umar bin Abd al-Aziz, seorang khalifah Islam yang sukses, bahkan menyatakan dengan lebih tegas, “Aku tidaklah cukup bergembira jika para sahabat Nabi tidak berbeda pendapat. Jika mereka tak beda pendapat, kita tak punya pilihan, dan ini menyulitkan hidup.”
Satu pemikiran yang sangat menarik dikemukakan oleh Imam Malik bin Anas (wafat 796 M), pendiri mazhab fikih Maliki. Suatu saat dia diminta oleh Khalifah Abbasiyah,Abu Ja’far al-Manshur, agar buku kumpulan hadis-hadis hukum karyanya, Al Muwattha’, bisa dijadikan pedoman perundangundangan yang akan diberlakukan bagi seluruh rakyat di kekhalifahannya.
Sang Imam dengan tegas menolak itu sambil berkata,“Anda tentu tahu bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang beragam tradisi hukum dengan pemimpinnya masing-masing.” Khalifah yang sama pada kesempatan lain mengulangi permintaan, dan sekali lagi sang Imam tetap menolaknya. Permintaan yang sama disampaikan khalifah penggantinya, Harun al Rasyid.Jawaban yang sama disampaikan Imam Malik. Dia bergeming, tak beranjak dari pendiriannya (Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’: 89-90).
Imam Malik bin Anas adalah tokoh yang terkenal dengan teori Amal Ahli Madinah (tradisi penduduk Madinah).Pendapat- pendapatnya banyak didasarkan atas tradisi Madinah. Lebih dari empat puluh masalah yang Imam Malik dasarkan pandangannya pada tradisi dan mengabaikan hadits ahad (hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tunggal), meskipun sahih. Katanya, “Al ‘amal atsbat min al hadits” (Tradisi Madinah lebih kokoh daripada hadis). Demikian tertulis dalam karya Al-Hajwi, Al Fikr al-Sami fi al-Fiqh al- Islamy(I/388-390).
Perbedaan pandangan para ulama tersebut,menurut Faruq Abu Zaid,tidak lain adalah refleksimerekaatasperkembangan kehidupan sosial-budaya mereka masing-masing (Al-Syari’ah al-Islamiyah Baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin:16).
Pengalaman Indonesia
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa multikulturalisme telah mendapat apresiasi yang kuat di dalam Islam.Para ulama besar masa lalu juga telah menjadikan budaya atau tradisi masyarakat sebagai dasar hukum. Atas dasar itu,mereka berdalil,” Al-‘Adah muhakkamah”. Cara-cara melaksanakan syariah seperti ini juga telah dilakukan para ulama, terutama para penyebar agama Islam di Indonesia (para wali).
Beberapa contoh misalnya praktik kenduri baik untuk perkawinan atau khitan atau keperluan lain, penggunaan kentungan atau beduk untuk memanggil/mengajak orang untuk salat, di samping azan, penggunaan kain sarung, juga peci.
Demikian pula sistem pendidikan pesantren,bahkan juga istilah pesantren dan santri, atau arsitektur bangunan masjid yang didirikan para Wali Sanga. Ini semua jelas bukanlah cara-cara yang dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya, tetapi justru diserap atau diadopsi dari tradisi dan budaya masyarakat Hindu atau lainnya.
Para ulama Indonesia masa lalu tak menganggap penggunaan atribut dan instrumen-instrumen budaya asing dan non-Islam ini sebagai kesesatan,apalagi kekafiran.
Tanpa Amarah
Kehendak untuk melaksanakan syariat Islam dalam konteks kebudayaan masyarakat yang beragam, sesungguhnya bukanlah masalah, sepanjang sejalan dengan prinsip- prinsip dan tujuan-tujuan syariat, yakni dalam kerangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan sosial, seraya selalu menghargai pandanganpandangan dan tradisi-tradisi yang beragam dalam masyarakat tersebut.
Sebuah pernyataan menarik dikemukakan oleh Dalai Lama.“Jika kita sungguhsungguh ingin melakukan sesuatu untuk mewujudkan kebebasan dan keadilan,cara yang terbaik adalah melakukannya dengan tanpa amarah dan permusuhan.”
Dalam sistem ketatanegaraan yang telah kita sepakati, proses penyusunan hukum harus ditempuh melalui caracara yang demokratis dan dalam kerangka keadilan sosial. Akan tetapi, segera harus dikemukakan bahwa cara-cara yang demokratis tersebut tidak hanya dalam arti prosedural, tetapi juga dalam arti substantif.
Dengan begitu,dikotomi mayoritas dan minoritas menjadi tidak relevan.Perumusan aturan perundang-undangan harus dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah dalam Islam merupakan prinsip dalam menyelesaikan problem dan ketidaksamaan pandangan dalam segala relasi.
Pada sisi yang lain, kita juga mengetahui bahwa aturan- aturan hukum dan regulasi-regulasi harus mengacu pada dalam sistem perundang- undangan yang berlaku. Sebuah produk peraturan tertentu tidak boleh bertentangan dengan produk peraturan di atasnya.
Dari sinilah maka produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan daerah (perda), tidak boleh bertentangan dengan undangundang, dan produk undangundang juga tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Para ulama NU dalam keputusan muktamar di Situbondo 1984, memandang Pancasila adalah dasar negara Indonesia dengan kedudukan final.
Ia tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sila-sila Pancasila sejalan dengan prinsip-prinsip humanisme universal Islam. Sampai hari ini Pancasila telah mampu menyatukan kebinekaan masyarakat Indonesia.
_____________
Koran Sindo, Jum'at, 26 Agustus 2011.



yesss
BalasHapusokeh
good
bima aka nizar