Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Fiqh Iqtishad: Meminimalkan Kesenjangan Sosial

Menurut data yang ada, hanya 30% penduduk bumi ini yang menikmati kekayaan yang melimpah dari dunia ini. Selebihnya, sekitar 70% hanya mengais-ngais yang tersisa, kira-kira 20% dari keseluruhan kekayaan dunia ini. Maka, terpuruklah masyarakat kecil, kaum buruh, kaum mustadh’afin dan masyarakat pinggiran. Mereka tidak memiliki kesempatan masuk dalam ajang kompetisi bebas. Keganasan kekuatan-kekuatan kapital dan manipulasi perusahaan-perusahaan multinasional terhadap kekayaan negeri kita semakin hari semakin besar.

Lalu bagaimana ajaran-ajaran sosial Islam merespons tantangan ini?

Islam tidaklah tebatas hanya pada soal ibadah mahdlah (vertikal) yang bersifat formalistik. Islam juga mengatur segenap aspek kehidupan, termauk soal mu’amalah atau masalah-masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, Islam tidak memandang harta kekayaan sebagai sesuatu yang hina atau tidak berguna. Menurut sejumlah ayat al-Quran, Allah Swt justru menyebutnya “al-khair” (yang baik). Bahkan Nabi Muhammad Saw secara khusus berpesan untuk lebih waspada terhadap “kemelaratan harta”, sebab kondisi seperti itu banyak menggiring seseorang untuk kufur atau mengingkari eksistensi al-Khaliq, Allah Swt.

Dari sinilah kemudian perhatian Islam terhadap apa yang disebut ekonomi (iqtishad) sebagai suatu keharusan bagi umat Islam. Lalu, bagaimana konsepsi Islam tentang ekonomi tersebut?

Apa yang saya sebut “fiqh iqtishad” ini tidaklah dimaksudkan dimaksudkan untuk wacana “ekonomi Islam” maupun “sekularisasi di dunia Barat”.* Para ulama ingin memberikan “alternatif” sistem kehidupan yang “Islami”, tanpa mesti mereduksi sistem yang diterapakn di negara-negara maju. Gagasan ekonomi Islam ini tentu sangat “eksklusif” sehingga pada tingkat implementasi, ia justru gagap menghadapi arus globalisasi dan modernisasi, bahkan terkadang hanyalah “teori-teori semu”. Aktifitasnya memakai simbol-simbol Islam, sementara dalam praktiknya justru sangat eksploitatif dan menginjak-injak ekonomi rakyat kecil.

Menurut kami, dalam bidang ekonomi, umat Islam tidak selamanya harus mengurung diri dalam pagar-pagar “Islami”, yang justru lebih imajinatif-simbolis ketimbang realistis. Namun, bukan berarti kita juga harus menerima penuh sistem kapitalis yang berlaku di Negara-negara sekuler. Pasalnya,ikatan-ikatan agama tidak bisa dilepaskan dalam praktik ekonomi. Harus diakui pula, tidak semua sistem yang berkembang di Barat bertabrakan dengan nilai-nilai Islam. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, harus diupayakan adanya rekonsiliasi di antara keduanya. Esensi dan substansi nilai-nilai Islam haruslah mendapatkan porsi lebih ketimbang simbol-simbol yang sekedar iklan.

islam mengakui hak-hak individu dan tidak melarangnya untuk memiliki segala jenis kekayaan yang diperoleh dengan jalan yang legal dan halal. Islam mengizinkan memperoleh kekayaan semampunya berkat keahlian atau tenaga yang dimiliki masing-masing individu, selama harta tersebut berdimensi sosial dan moral (akhlaqi). Pada dasarnya, al-mal malullah, harta itu adalah harta milik Allah yang harus dinafkahkan untuk kepentingan sosial (QS al-Baqarah [2]:254, QS al-Dzariyat [51]:19, QS al-Isra’ [17]:26). Kepemilikan dan hak milik pribadi merupakan naluri dasar dan hak asasi setiap orang. Namun, hak milik pribadi ini tidak boleh berlebihan dan eksesif sehingga membahayakan ajaran Islam yang paling dasar (dlaruri) dan mengabaikan sosial ajaran Islam. Oleh karena itu, haruslah ada upaya untuk membatasinya melalui instrumen negara yang berfungsi sosial. Dengan instrumen seperti ini, pemerintah berwenang untuk mengambil langkah-langkah strategis guna menghapuskan kejahatan-kejahatan yang bisa terjadi akibat pemilikan pribadi. Atau, membatasi kepemilikan kekayaan yang melimpah ruah yang dimiliki segelintir orang-orang tertentu. Dan, kebijakan tersebut haruslah disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Islam.

Lalu, bagaimana sebetulnya prinsip-prinsip perekonomian Islam itu?


Yang dimaksud prinsip-prinsip di sini adalah kristalisasi nilai-nilai al-Quran yang harus diimplementasikan dalam lingkup hubungan sosial-kemasyarakatan. Jadi, tidak hanya dalam lingkup terbatas ekonomi jual-beli. Nilai-nilai ini bukan pula dimaksudkan untuk membuat sekat-sekat kehidupan umat Islam. Sebab, nilai-nilai tersebut bisa saja melekat pada sistem ekonomi manapun yang berkeadilan—walaupun tidak memakai “embel-embel” Islam. Bahkan, meskipun tidak memakai jargon Islam, negara kita sangat mungkin untuk menerapkan nilai-nilai tersebut. Berikut prinsip-prinsipnya:

1.   Keadilan dalam distribusi kekayaan (al-‘adalah al-ijtima’iyah)
Lihat QS al-Hadid [57]:25. Keadilan berlaku untuk semua aspek kehidupan manusia, tidak hanya dalam soal ekonomi. Ini untuk merealisasikan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (QS al-Isra’ [17]:7).
Keadilan dalam ekonomi berarti pemerataan distribusi kekayaan. Kekayaan yang melimpah dan bertumpuk-tumpuk akan mengancam moral dan keimanan seseorang. Allah mengancam dan mencela orang-orang yang suka menumpuk harta, bakhil sambil menghitung-hitungnya (QS a-Humazah [104]:1-9). Sebaliknya, kemiskinan dapat mendekatkan seseorang kepada kekufuran.
Kesenjangan dan jurang pemisah yang tajam antara golongan ekonomi kuat (aghniya’) dan kelompok ekonomi lemah (masakin fuqara’) merupakan akar instabilitas kehidupan yang akan membawa pada kehancuran. Dari sini kemudian Islam menetapkan harta itu sebagai sesuatu yang berfungsi sosial.

2.   Jaminan atas hak-hak dasar kemanusiaan (al-kulliyah al-khams)
Manusia memiliki lima kebutuhan primer (dlaruri) yang merupakan hak-hak mendasar dalam kehidupan ini, yakni: agama, akal, jiwa, kehormatan, serta harta benda dan keluarga. Kelima hak tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya, semuanya bersifat integral. Maka,kegiatan ekonomi merupakan bagian dari pemenuhan hak-hak dasar manusia dalam memiliki kekayaan.

3.   Kesejahteraan individu dan masyarakat (al-rafahiyah al-fardiyah wa al-ijtima’iyah)
Islam mendorong kerjasama (ta’awun),dan bukan persaingan. Kebaikan individu merupakan kebaikan masyarakat. Demikian pula, apabila suatu masyarakat makmur, tentu individu-individunya akan semakin baik dan maju (QS al-Maidah [5]:2). Melihat konteks ini, sistem koperasi dan produksi yang sehat dan benar merupakan salah satu implementasi prinsip ini.

4.   Persamaan derajat (al-musawah)
Prinsip ini tidak bisa disamakan dengan sistem sosialis secara murni sebab Islam memberikan penghormatan yang mulia terhadap kreasi dan profesi setiap individu. Mereka, bukanlah pekerja atau budak bagi negara atau partai berkuasa. Prinsip musawah ini sangat terkait dengan posisi seseorang di hadapan undang-undang dan perlakuan hukum terhadapnya. Jika ini terwujud dengan baik, praktik-praktik kolusi, manipulasi, korupsi dan sejenisnya, pasti tidak akan mendapatkan ruang gerak untuk hidupdan berkembang.

5.   Kebebasan (al-hurriyah)
Secara implisit, ini jelas berbeda dengan model kebebasan yang dikembangkan di dunia Barat yang di dalamnya kapitalisme memungkinkan lahirnya manusia-manusia rakus yang menumpuk harta secara israf dan takatsur (berlebih-lebihan). Kebebasan dalam pandangan Islam bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terbatas. Batas-batas tersebut (dalam a-Quran disebut hudud) adalah ajaran Ilahi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia untuk kepentingan umat manusia itu sendiri. Kaum Muslim tidak bisa mengelak dari kewajiban tersebut. Sebab jika meninggalkannya, konsekuensinya harus menanggalkan atribut “kemusliman”-nya.

6.   Moderasi (al-tawassuth)
Keseimbangan antara yang profan dan yang transendental, dunia dan akhirat, jasmani-ruhani, lahir dan batin, individu-masyarakat, asketisisme dan materialis, serta basyariyah dan insaniyah, merupakan prinsip dasar dalam fiqih iqtishad. Menekankan satu sisi dan mengabaikan yang lain akan membuat hidup ini pincang dan mengubur tujuan luhur manusia dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 

__________________
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, hal: 364-372. Jakarta Selatan: Yayasan Khas, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ar Yu ReDEY..?!