Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Pakar Yahudi dari Mesir


Mohamed Hawary, seorang profesor kajian bahasa Ibrani dan pemikiran Yahudi di Universitas Ain Syams, Kairo, yang mempunyai sekitar 180.000 mahasiswa, dipandang sebagai sesepuh kajian Yahudi di Mesir. Sebagai seorang sarjana Yudaisme yang mendunia, serta penulis banyak buku dan artikel tentang beragam kajian Yahudi, Hawary juga seorang Muslim

yang taat dan seorang Mesir yang patriotik.

“Saya awalnya berminat pada Yudaisme dan Israel, karena banyak ayat al-Quran bicara tentang orang Yahudi,” ingat Hawary. “Ini membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang Yahudi, hubungan historis antara Yudaisme dan Islam, dan juga untuk mempelajari Israel.”

Perang dengan Israel pada 1967-lah yang akhirnya menggerakkannya untuk menjelmakan minatnya menjadi karir. “Israel, tentu, adalah musuh Mesir  dan bangsa Arab. Tapi saya pikir saat itu penting sekai untuk mengetahui  siapa musuh kita.”

Termotivasi untuk mempelajari bahasa Ibrani dan kajian Yahudi, Hawary mendapatkan gelar BA pada 1971 di universitas Kairo dan menamatkan doktoralnya  di Ain Syams. Di sana, ia menulis disertasi doctor berjudul “Teologi Anak-anak Israel: Dari Musa hingga Orang-orang Babylonia Pengasingan.”

Hawary mulai mengunjungi Israel pada awal 1980-an, tidak lama setelah perjanjian perdamaian Camp David antara Mesir dan Israel. Tapi sekarang, beberapa dekade setelah upaya-upaya awal normalisasi, Hawary tidak lagi mengunjungi negara Yahudi itu. “Saya sangat kecewa dengan kebijakan Israel selama ini,” jelasnya, mengacu khususnya pada ekspansi pemukiman Yahudi yang tak berakhir di Tepi Barat. “Saya punya harapan besar pada proses perdamaian. Saya masih mendapat undangan untuk pergi ke Israel, tapi sekarang saya menolak. Tidak logis untuk terus mengunjungi Israel seolah-olah pendudukannya atas tanah Palestina dan kebijakan pemukimannya tidak terus berlanjut. Tidak aka nada perdamaian yang hangat antara Mesir dan Israel,” terang Hawary, “tidak pula semestinya ada,” sampai ada sebuah solusi untuk masalah Paestina.

Ditanya bagaimana konflik Arab-Israel mempengaruhi para mahasiswanya, Hawary mengatakan, “Saya mengajari para mahasiswa saya bahwa mereka perlu membedakan antara kebijakan pemerintah Israel dan orang Yahudi di seluruh dunia.ketika kita bicara tentang konflik Israel-Palestina, kita perlu memastikan bahwa ini tidak dipahami sebagai sebuah konflik agama. Saya tahu banyak orang Yahudi, di Israel, di Amerika, di Eropa, yang mendukung hak rakyat Palestina akan sebuah Negara merdeka, dan saya katakan pada mahasiswa saya tentang ini. Tidaklah boleh memukul rata semua orang Yahudi.”

Hawary sendiri terus mempertahankan relasi yang baik dengan sarjana Yahudi di seluruh dunia. Selama bertahun-tahun, ia telah mengundang tiga profesor Yahudi—yang juga rabi—untuk memberikan kuliah pada mahasiswanya di Ain Syams, yaitu Mark R. Cohen dari Princeton University, Raymond P. Scheindlin dari Jewish Theological Seminary (JTS) dan Reuven Firestone dari Hebrew Union College-Jewish Institute of Religion.

“Saya sangat terkejut dengan kemampuan mahasiswa Mesir memahami bahasa Ibrani,” kata Cohen. “Hawary melakukan jasa yang sangat penting dengan menerbitkan karya-karya dalam bahasa Arab yang menghidupkan kembali hubungan yang pernah terjalin antara orang Muslim dan Yahudi di Mesir pada abad pertengahan.”

Bagi Cohen, Hawary adalah pakar terkemuka tentang Genizah Kairo, tempat di mana tersimpan ribuan manuskrip dan fragmen manuskrip, yang tertulis dalam bahasa Arab, Yudeo-Arab, dan Ibrani, yang ditemukan pada akhir abad ke-19 di Sinagog Ben Ezra di Kairo Lama. Manuskrip-manuskrip ini adalah sumber yang kaya tentang kehidupan religius, kultural, dan ekonomi komunitas Yahudi di dunia Arab abad pertengahan.

Hawary juga seorang Fulbright Fellow senior di JTS dan sarjana Arab-Muslim pertama yang menjadi peneliti di Oxford Centre for Hebrew and Jewish Studies.

“Hawary adalah seorang sarjana terkemuka Yudaisme,”  kata Firestone. “ia begitu tertarik dengan hubungan historis dan religius antara Yudaisme dan Islam. Lebih dari itu, ia menghindari polemik dalam kesarjanaannya, seorang penjembatan sejati dan benar-benar seorang mensch (orang terhormat dan punya integritas).”


_________________
Majalah Mata Air, hal: 44-45, Edisi 29 Tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ar Yu ReDEY..?!