Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Wali Sanga, Besok

Ada-ada saja. Umat Islam Indonesia dilukiskan seperti kerabat Pendawa yang kalah judi dan tercampak di hutan, seperti Yesus yang disalib, seperti Budha yang berlari menyepi, seperti Pasingsingan yang kehilangan jubah putih dan topeng mulia ditukar dengan benda-benda lunak hiburan dunia, seperti Ismail putra Ibrahim yang menelentang sebagai anak sembelihan, atau seperti Muhammad Saw dan Co yang rambaterata berhijrah ke Madinah.

Macam-macam cara orang menggambar. Di arena gaple politik, ada
golkar dua biji golpar dan sedikit golput. Di dunia berseni-seni bahkan bisa ada realisme tropis atau realisme magis. Dan orang Indonesia yang penuh kelembutan, yang bagai mampu menerima apa saja, adalah pendekar metafor. Penduduk yang memeluk berbagai agama, bersyawalan bersama.

Kita semua sudah hapal apa saja. Hal-hal itu gampang saja kita tepikan atau justru kita nikmati dengan santai seperti sejak lama kita mendengarkan My Bonny didangdutkan, atau Porkas disyahkan oleh negeri yang melarang segala macam bentuk perjudian.

Adapun hijrah Muhammad Saw dan kaumnya ke Madinah ialah karena  Mekah sedang dikuasai kaum kufur Quraisy dan Ka’bah dikerumuni oleh terlalu banyak berhala.

Tetapi, terminologi yang lain menggambarkan tak akan ada adegan di mana Muhammad Saw & Co itu bervini-vidi-visi-  ke Mekah untuk merebut kembali piala kemenangan. Sebab, pada dasarnya, Umat Islam Indonesia itu tergolong makhluk yang punya sikap santai yang khas. Itu tak harus berarti bahwa kedatangan mereka di Ka’bah kelak justru untuk bergabung hura-hura menyembah berhala—meskipun kalau ya, ya tak usah mengagetkan siapa-siapa.

Yang dimaksud dengan sikap santai kemampuan tertentu yang kita miliki—semacam kelembutan, keluwesan—sedemikian rupa sehingga apa yang paling bertentangan bisa diseolah-olah-satukan. Tak harus disebut kemunafikan. Mungkin itu kedamaian, atau semacam kemahiran dialektika yang canggih.

Orang Islam pada umumnya baik-baik, kecuali beberapa ‘binatang langka’ yang bersikeras ‘mengibarkan bendera’. Tapi, untuk merintis suatu parpol Islam yang solid, untuk berbahasa jelas mengenai segala proses deislamisasi; serta bahwa makin banyaknya cewek berjilbab yang terkadang sekaligus berhelm itu sama sekali tidak indikatif terhadap Khomeinism. Akan hal selalu ada beberapa orang kelaparan total yang mengamuk, itu bukanlah gejala aqidah.


Bukan Suku Indian

Tetapi, alasan yang agak lebih serius ialah bahwa Umat Islam memang sama sekali bukan semacam gerombolan suku Indian Comanche. Dengan kata lain, Islam bukan mimpi tentang mobilisasi, dominasi kelompok dengan menghadirkan Tuhan sebagai palu besi, melainkan usaha perilaku kebudayaan. Seorang Kiyai mengemukakan, Islam bukan sebuah tempat sekomplotan orang dengan syahadat dan KTP yang seragam, melainkan semacam ruh yang menyumberi wilayah apapun dalam ruang dan waktu kehidupan manusia, menuju kesejahteraan siapa saja di dunia dan akherat.

Dengan carangan terminologi yang ini, maka yang kini sedang berhijrah ke Madinah bukanlah Umat Islam, melainkan ruh Islam, atau ya Islam itu sendiri. Umatnya, siapa tahu, kan justru yang banyak memenuhi Mekah dan mengerumunkan berhala di seputar Ka’bah. Benar enggak hayo.
Kalau enggak, syukur. Kalau ya, salahnya sendiri kenapa Pasingsingan Radite kok mau menukarkan jubah aqidahnya kepada Umbaran dengan seumpluk daging. Nyahoklah Puntadewa si sulung Pendawa gara-gara mau saja dirangsang main judi oleh ludah busuk ajaran Sengkuni. Dan yang itu sama sekali bukan Yesus disalib: buktinya tak ada kepalanya, tak ada tangan, hanya tubuh dan kaki lusuh yang dipaku, yang mengucurkan darah awet.

Dari itu semua, gambar yang paling menarik, mungkin, ialah pasal Ismail si anak sembelihan. Soalnya, ya kalau diganti kambing; lha kalau leher Ismail betulan yang kena gorok, kan memble.
Ini teori mentereng. Kalau dibilang ada kesatuan antara mikro dan makrokosmos, tentu tak hanya dalam konteks ruang, tapi juga dalam arti waktu. Sejarah seluruh kodrat makhluk ini berirama bagaikan sejarah per-manusia. Ambil saja sepenggalan: gelombang dari Adam si-kesehatan, Nuh si-keberuntungan, Ibrahim si-pilihan, Ismail si-sembelihan, Musa si-jubir, Daud si-khalifah, Isa si-ruh, sampai muhammad si rasul pamungkas.

Umat Islam Indonesia sudah menjadi Ibrahim—itu ujung perbincangan tentang segala cakrawalaperubahan negeri ini. Datangi para piawai ilmu perubahan untuk memperoleh kejelasan ilmiah mengenai hal ini. Soalnya sekarang, bait lagu sedang sampai ke Ismail, menjelang Musa. Umat Islam disembelih, atau menyembelih diri—wajar, karena Ibrahim jualah penyembelih Ismail. Para negarawan menyebut ini syarat kebesaran jiwa bangsa. Para politisi melihai itu strategi sebelum akhirnya Jibril datang menyeret seekor kambing untuk bikin Ismail tetap segar bugar.

Tetapi semua rumusan metaforik ini dinafikan sendiri oleh gejala kalam-Musa: Umat Islam sedang sibuk merumuskan dirinya sendiri, belajar berkata-kata, diskusi, berpikir, berpikir...sampai semoga akhirnya melihat bahwa kambing bawaan Jibril itu adalah bagian dari tubuh Ismail itu sendiri.

Tiba-tiba datang, seorang Budhist, seorang master juru silat Pendekar Mabuk—sungguh-sungguh ia yang datang, dan berkata:  kenapa umat Islam tak mereinkarnir Wali Sanga?

Ia jelaskan kenapa sembilan, kenapa tak delapan atau sebelas. Ia jelaskan ‘transformasi modern’ Wali Sangaitu untuk Indonesia Orba. Ia jelaskan, segala sesuatu yang pada akhirnya menjelaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang masih buta huruf. []


________________
Emha Ainun Nadjib, Tidak. Jibril Tidak Pensiun, hlm: 83-87. Yogyakarta: Progress, 2007.

#Artikel ini juga sebelumnya saya ringkas dalam catatan di Facebok yang berjudul: bait lagu sedang sampai ke Ismail, menjelang Musa.. dengan beberapa teks yang telah ganti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ar Yu ReDEY..?!