Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Islam-Kristen: Mengelola Perbedaan dan Mengatasi Konflik

Belakangan ini, umat manusia, termasuk bangsa Indonesia, gandrung pada agama dan semakin menggebu-gebu. Perayaan agama semakin semarak. Dan rumah ibadah semakin bertebaran. Akan tetapi persoalannya kemudian, mengapa justru kedamaian dan ketenteraman yang diidam-idamkan itu semakin tidak menunjukkan dampak dan realisasinya dalam kehidupan?


Diskursus keimanan, jauh lebih urgen dari pada sekedar formalitas agama. Keimanan bukanlah terletak pada mulut manusia melalui hafalan secara verbal.
Ia bersarang di hati nurani yang paling dalam. Pancaran dari keimanan inilah yang membangun insan kamil (manusia paripurna). Pada dataran tersebut, makna eksoteris dalam beriman (dalam arti beragama) bergeser pada makna esoteris. Pemahaman yang utuh akan makna esoteris ini  tidak hanya akan menjamin kerukunan dan perdamaian antar umat beragama, tetapi juga akan mencairkan bentuk-bentuk kebekuan formalitas agama.

Krisis beruntun yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini, jika kita amati secara cerdas, tidak lepas dari pola legalitas-formalitas beragama yang hanya berakhir pada level-eksoteris. Sementara dimensi esoteris, yang menjadi esensi agama justru dilemparkan jauh-jauh.  Para birokrat penyelenggara Negara dan sebagian masyarakat lebih mengutamakan pembangunan fisik agama. Memperbanyak rumah ibadah, memperbesar acara-acara seremonial keagamaan, membesarkan baju jubah atau kalung salib, menggalakkan verbalitas ajaran agama, dan sejenisnya. Alangkah naifnya, Negara mengeluarkan uang miliaran rupiah guna pelaksanaan MTQ, tetapi setelah itu justru semakin menyuburkan tindakan korup dan sama sekali tidak meningkatkan keimanan para panitia maupun warga bangsa. Sudah ratusan, bahkan ribuan rumah ibadah dibangun, tetapi masyarakat justru semakin jauh dari nilai-nilai agama.

Kondisi ini diperparah lagi dengan tingkat pemahaman ajaran agama yang serba “pas-pasan”. Bahkan, tidak jarang muncul orang-orang yang tak paham agama, tetapi justru berlagak sebagai agamawan yang merasa sebagai wakil dari seluruh pemeluk agama.

Dalam sejarah umat Islam, kemunculan konflik lebih banyak disulut oleh faktor siyasah atau politik, kemudian dikemas dalam sampul akidah atau doktrin keagamaan. Tragedi “al-fitnah al-kubra”, malapetaka besar, pada era kepemimpinan khalifah Ali, adalah klimaks dari kekacauan politik yang merebak semenjak enam tahun terakhir kepemimpinan khalifah Usman ibn Affan. peristiwa yang menelan korban ribuan umat Islam dalam perang saudara tersebut sekaligus menandai berakhirnya kepemimpinan Ali, serta naiknya Mu’awiyah ke tampuk kekuasaan sebagai penguasa despot.

Jelaslah, bahwa kepentingan politik seseorang, meski dilakukan oleh seorang yang mengaku agamawan, jika tidak dilandasi asas moral etika yang luhur, akan terjadi penghalalan segala macam cara dan strategi. Peristiwa Karbala pada 60 H adalah salah satu saksi sejarah dalam soal politisasi agama itu. Husain ibn Ali, cucu Rasulullah, beserta 74 orang anggota sanak keluarganya, karena dipandang sebagai rival politik Yazib ibn Mu’awiyah, akhirnya harus dihabisi. Begitu pula dengan Hajjaj ibn Yusuf, seorang panglima Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, berperan menumpas para pembangkang di Kuffah, Bashrah, dan sekitarnya. Puluhan ribu orang pun jadi korban.

Walhasil, dalam melihat berbagai konflik dan kerusuhan dalam masyarakat agamis, kita seharusnya tidak gegabah memvonis faktor retaknya kerukunan beragama sebagai pemicu. Penyelidikan obyektif sangat diperlukan untuk menjernihkan persoalan tersebut. Sikap transparan dalam menangani kasus-kasus seperti itu, disertai sikap arif, juga sangat diperlukan bagi para aparat dan kalangan yang menanganinya.

Peristiwa tersebut, di sisi lain, menuntut adanya introspeksi para agamawan, para ulama, para pastor, para pendeta, dan para biksu dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama kepada para jamaahnya, agar lebih selektif dan bersikap toleran. Harus diakui, masih banyak dai atau kalangan misionaris yang dalam operasionalnya menyulut emosi umat serta menanamkan kecurigaan terhadap agama-agama lain dengan mengambil interpretasi dari intisari agama secara dangkal.
 
_______________________
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, Tasawuf, Sebagai Kritik Sosial, hlm: 318-323. Jakarta Selatan: Yayasan Khas, 2010.

2 komentar:

  1. yo yo yo yo
    maju terus gan... kampanyekan AGAMA yg HUMANITY
    dus :
    karena berebut tiket surga
    Manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai Tentara TUHAN



    nizar aka bima

    BalasHapus


Ar Yu ReDEY..?!