Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Pesantren di Mata Martin Van Bruinessen

Martin Van Bruinessen, seorang pakar kajian Islam dari negeri Kincir Angin, menyatakan bahwa salah satu warisan agung di Indonesia adalah keberadaan pesantren dengan segala tradisi yang ada di dalamnya termasuk sistem pengajaran dan “ritus-ritus” kepesantrenan yang menjadi ciri khasnya seperti seorang kyai yang kharismatik.

Dalam buku “Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat”, pesantren, menurut Martin, menyerupai madrasah India dan Timur Tengah. Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisional di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir.
Perkataan pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan “Pe” dan akhiran “an” berarti tempat tinggal para santri. Profesor John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji sedangkan CC. Berg (dalam buku yang sama) berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau pengetahuan.

Martin juga menyatakan bahwa pondok, masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren. Mengapa pesantren dapat survive sampai hari ini ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren di Dunia Islam tidak dapat bertahan menghadapi perubahan atau sistem pendidikannya yang modern dan mengalami “pembaratan?” Secara implisit pertanyaan tadi mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu yang masih tetap relevan.

Di samping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan tinggi—seperti PTN/PTS—yang ada sekarang ini mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal, cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaan seperti kita lihat sekarang, meskipun saat ini juga marak pesantren urban.

Pesantren di Indonesia secara konvensional dipandang sebagai lembaga pendidikan  tradisional Islam, karena tradisinya yang panjang; atau lembaga pendidikan Islam tradisional, karena umumnya dimiliki para kyai yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU) yang dipandang sebagai organisasi ‘Islam tradisional’. Madrasah di Indonesia, pada pihak lain, semula merupakan lembaga pendidikan yang umumnya didirikan kaum Muslim modernis untuk merespons ekspansi sekolah-sekolah model Belanda. Dalam perkembangannya, sistem dan kelembagaan madrasah juga diadopsi banyak pesantren.

Dari keterangan ini, kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan pesantren dan di mana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Persoalannya sekarang adalah mampukah pesantren-pesantren yang ada di Indonesia mengikuti jejak sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat—ambil sebagaimana “pesantren” yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston—yang sekarang telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika.


____________________
1 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.
2 Ronald A. Lukens-Bull, teaching morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era, dalam Journal of Arabic and Islamic Studies, 1998.
*) Sudarto Murtaufiq, Jurnal Pesantren Ciganjur, Edisi 02/Th.I/2006, Hlm: 40-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ar Yu ReDEY..?!