Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Antara Konsep Agama dan Realita Budaya

Sebagai penyampai risalah, Nabi Muhammad ditugaskan menyempurnakan budaya umatnya. Beliau berusaha menebarkan rahmat (kasih sayang) yang menjadi satu-satunya tujuan kerasulan. Allah Swt berfirman:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya [21]:107)


Sejarah telah membuktikan, bahwa Islam hanya bisa dikembangkan dengan nilai-nilai santun dan penuh etika. Ia akan mengakar kuat di tengah-tengah komunitas masyarakat bila mampu bersinergi dengan budaya setempat tanpa menimbulkan gejolak. Sebagaimana kearifan dan kecerdikan Wali Sanga yang dalam dakwahnya bisa memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah., sehingga mampu membumikan ajaran-ajarannya dihamparan bumi Nusantara sampai dewasa ini. Jauh-jauh hari Nabi Saw telah bersabda:

Niscaya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Baihaqi)

Dalam hadits tersebut Nabi Muhammad menegaskan bahwa beliau diperintahkan akhlaq al-karimah yang juga berarti budaya, tradisi dan adat masyarakat. Bukan malah melenyapkannya. Sebagaimana disabdakan:

Bertaqwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, susullah kejelekan dengan kebajikan yang bisa meleburnya dan berperilakulah kepada orang lain dengan perilaku yang baik.” (HR Turmudzi dan Hakim)

Sementara maksud perilaku baik  (khuluq al-nas) tersebut adalah penyesuaian dengan budaya masyarakat, seperti jawaban Aly bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud perilaku baik dalam Hadits tersebut beliau berkata: “(Maksud dari khuluq al-nas) adalah beradaptasi dengan masyarakat dalam setiap hal selama bukan maksiat.” (Muhammad Nawawi, Mirqah Shu’ud  al-Tashdiq, hal:61). Ucapan ini kemudian populer menjadi peribahasa: Laula al-wi-aamu lahalaka al-anamu (andaikan tidak ada adaptasi (dalam pergaulan) niscaya manusia akan sirna).

Telah jelas kiranya bahwa ajaran Islam mesti disampaikan dengan santun dan menghargai budaya. Nilai-nilai toleransi, adaptasi dan pembaruan pada budaya dengan sendirinya akan membuat masyarakat mencintainya. Kendati begitu, tidak setiap budaya bisa ditoleransi dan dimaklumi. Sebab, sering kali budaya yang berkembang  di tengah masyarakat bertentangan dengan fitrah manusia sendiri dan disinyalir berseberangan dengan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, diperlukan filter yang jelas agar budaya dan agama dapat beriringan menuntut  masyarakatnya kearah yang benar. Dalam hal ini, filter aqidah menjadi faktor utama karena merupakan dasar keimanan pelaku budaya, dan filter amaliyah merupakan penjelas suatu budaya agar bisa menemukan legalitasnya atau tidak.

2 komentar:

  1. berkunjung di sore hari,..
    blog yang sangat informatif

    senang bisa berkunjung kesini
    Berkunjung juga Ke Blog Gua ya

    BalasHapus
  2. Terimakasih informasi nya gan, sangat bermanfaat :)
    ditunggu kunjungan baliknya yaah ,

    BalasHapus


Ar Yu ReDEY..?!