Dimulai dari abad ketujuh sebelum Masehi, diceritakanlah tentang kota Hamadan di bekas wilayah Ectabane yang dikuasai oleh kerajaan Medes. Seabad kemudian seorang pangeran dari Persia, Cyrus, mendirikan kerajaan Achemenide. Setelah itu muncul Iskandar Agung dari Macedonia, menguasai Iran. untuk kemudian secara berturut-turut berkuasalah dinasti Parthes Arsacides, dinasti Sassanide dan baru masuklah penguasa-penguasa Islam pada tahun 640 Masehi. Dua belas abad kemudian (abad XIX), datanglah zaman kolonialisme Eropa, Rusia dan Amerika yang memasukkan unsur-unsur kebudayaan asing secara besar-besaran.Salah satu di antara raja-raja kuno yang masih disukai oleh rakyat Iran hingga masuknya Islam adalah Raja Cyrus Agung. Ia adalah sosok raja yang digambarkan secara sempurna; sebagai orang yang bijaksana, jujur, toleran namun pemberani dan tidak menyukai pertumpahan darah. Pada tahun 539 SM, Ia menaklukkan Babylonia tanpa disertai penghancuran. "Kumasuki Babylonia, dan penduduk menyambutku dengan teriakan penuh kegembiraan dan suka cita. Kubawakan bagi mereka, keamanan dan kegembiraan bagi seluruh penduduk."
(Pierre Lyautey, Iran Secret, Sociate de Publications d'ouvrages classiques sur I'Iran, 1978)
(Pierre Lyautey, Iran Secret, Sociate de Publications d'ouvrages classiques sur I'Iran, 1978)
Sepeninggal Cyrus Agung, Darius I meneruskannya dengan gelar "Raja Besar, Raja di Raja, Raja Bumi Achimenide, Persia, Putra Bangsa Persia Keturunan Arya". Raja inilah yang membangun kejayaan suku Arya di Persia. Ia membagi kerajaannya dalam puluhan wilayah besar (satrapies) dengan difaslitasi oleh jalan-jalan raya untuk memperlancar arus informasi, dan komunikasi politik di negerinya. Ibukota kerajaan didirikan di jantung propinsi Persia, Persepolis. Rakyat Persia pada waktu itu menyembah Ahura-Mazda (Tuhan Cahaya dan kebaikan). Kepercayaan kemudian pecah menjadi dua, Mazdaisme dan Zoroaster/Zaratrusta. Pada tahun 330 SM, Iskandar Agung dari Macedonia berhasil menaklukkan kerajaan Achemenide. Setelah kemunduran Yunani, orang-orang Romawi untuk sementara menguasai Iran.
Pada tahun 226 M lahirlah sebuah dinasti baru yakni Sassanide, dengan raja pertamanya Ardachir yang berhasil merebut kembali Iran dari penguasaan bangsa asing. Dinasti ini dimulai dari empat abad selama mereka berkuasa dan mengalami zaman keemasan setelah berhasil mengusir seluruh penjajah asing dari negerinya, termasuk mengusir tentara Romawi di wilayah Barat. Di anatara raja mereka yang terkenal adalah Shapur I dan Khosrow I. Meskipun mampu menjadi bangsa yang besar, namun mereka juga mengalami percampuran dengan bangsa Roma, Cina dan India. Agama resmi negara adalah Mazdaisme Zoroaster yang ajarannya tertulis dalam bahasa resmi Pahlavi dengan kitab suci Avesta, namun pada waktu itu agama Budha dari Timur dan Nasrani juga berkembang di sana. Setelah bertahan beberapa abad, dinasti Sassanide mengalami kemunduran seiring masuknya Islam ke wilayah tersebut. Raja terakhir Sassanide tahun 651, sedangkan Islam telah mulai masuk sejak beberapa dekade terakhir.
Menurut orang-orang Iran, Husein ibn 'Aly, cucu Rasulullah yang mendapatkan kesyahidannya di padang Karbala dipercayai pernah menikah dengan seorang puteri keturunan dinasti Sassanide. Pernikahan ini, hingga kini menyebabkan Beliau dianggap sebagai Bapak sekaligus penerus "kerajaan-kerajaan nasional" Iran. Sosok pahlawan yang sangat dihormati oleh siapapun, baik kawan maupun lawannya ini sangat identik dengan aspirasinya, tak kenal takut dan menyerah, meski harus berjuang seorang diri sedangkan musuh berbilang ribuan. Ia yang pada akhirnya harus terbantai di Padang Karbala oleh tentara dinasti Ommayade (Umayah) telah menjadi ikon bagi perjuangan kaum muslim Syi'ah, penghuni kawasan Iran. Sejak saat itu, Iran tak pernah berhenti dari pergolakan hingga sekarang. Sejak terjadinya peristiwa Karbala (10 Muharam 61H), lahirlah tradisi-tradisi dalam Muslim Syi'ah yang bertentangan dengan masyarakat Sunni, seperti: meratapi jenazah dan mendewakan ahl al-bait (keluarga atau keturunan Nabi Muhammad Saw) tanpa reserve.
Menurut orang-orang Iran, Husein ibn 'Aly, cucu Rasulullah yang mendapatkan kesyahidannya di padang Karbala dipercayai pernah menikah dengan seorang puteri keturunan dinasti Sassanide. Pernikahan ini, hingga kini menyebabkan Beliau dianggap sebagai Bapak sekaligus penerus "kerajaan-kerajaan nasional" Iran. Sosok pahlawan yang sangat dihormati oleh siapapun, baik kawan maupun lawannya ini sangat identik dengan aspirasinya, tak kenal takut dan menyerah, meski harus berjuang seorang diri sedangkan musuh berbilang ribuan. Ia yang pada akhirnya harus terbantai di Padang Karbala oleh tentara dinasti Ommayade (Umayah) telah menjadi ikon bagi perjuangan kaum muslim Syi'ah, penghuni kawasan Iran. Sejak saat itu, Iran tak pernah berhenti dari pergolakan hingga sekarang. Sejak terjadinya peristiwa Karbala (10 Muharam 61H), lahirlah tradisi-tradisi dalam Muslim Syi'ah yang bertentangan dengan masyarakat Sunni, seperti: meratapi jenazah dan mendewakan ahl al-bait (keluarga atau keturunan Nabi Muhammad Saw) tanpa reserve.
Ketika bani Abbasiyah menghentikan kekuasaan dinasti Umayah, mereka memindahkan pusat kerajaannya dari Damaskus ke Baghdad, Irak. Meskipun Baghdad berada di wilayah Irak (Babylonia), para ahli sejarah berpendapat bahwa pengaruh Iran (Persia) sangat kuat pada waktu itu, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid yang termasyhur dalam dongeng Alf Laila wa Layla (1001 Malam).
_____________________
Jurnal Pesantren Ciganjur, Edisi 02/Th.I/2006, hlm:64-66.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar