Seorang pembaca bisa saja lebih "fasih" dalam mengkaji objek (penelitian)-nya dari pada si empunya (baca: pengarangnya).

Belajar dari Muslim Non-Arab

Oleh: Azyumardi Azra

Selain sering diundang ke berbagai negara Barat untuk mempresentasikan makalah tentang Islam Indonesia, saya kerap kali mendapat undangan dari Dunia Arab atau Timur Tengah umumnya. Undangan dari kawasan Dunia Muslim yang disebut terakhir ini juga meminta saya memaparkan pengalaman Islam di Indonesia, sejak dari penyebaran Islam di Indonesia atau Asia Tenggara umumnya; pembangunan ekonomi, masyarakat, dan dakwah Islam di Indonesia; sejarah kebudayaan dan peradaban Islam di Asia Tenggara; perkembangan politik Islam di Indonesia; jaringan ulama Indonesia dengan Dunia Arab sejak masa paling awal sekitar abad ke-16 dan masa-masa selanjutnya; sampai kepada pembentukan ummatan washatan di Indonesia.

Tetapi, berbeda dengan seminar dan konferensi sebelumnya, kali ini saya diundang ke sebuah konferensi yang secara eksplisit membahas tema: “Human Rights and Renewal of the Religious Discourse: How Would the Arab World Benefits from the Non-Arab Islamic Experience” (HAM dan Pembaruan Wacana Keagamaan: Bagaimana Dunia Arab akan Mendapat Manfaat dari Pengalaman Keislaman non-Arab). Diselenggarakan Markaz al-Qahirah li al-Dirasat al-Huquq al-Insaniyyah (Pusat Kairo untuk Kajian HAM), di Alexandria, Mesir, 18-20 April 2006, saya merasakan bahwa konferensi ini sangat penting. Inilah konferensi kali pertama --sepanjang saya ketahui-- yang menunjukkan keinginan kalangan Dunia Arab untuk mengambil manfaat atau belajar dari pengalaman-pengalaman keislaman kaum Muslimin non-Arab.

Bukan rahasia lagi, Dunia Arab umumnya tidak atau kurang memandang penting pengalaman Islam di kawasan-kawasan non-Arab. Bahkan, bukan tidak banyak kalangan Muslim Arab yang memandang, bahwa Islam di tempat-tempat lain seperti kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara bukanlah ‘Islam yang sebenarnya’, atau bukan ‘Islam yang murni’, dan anggapan-anggapan pejoratif dan merendahkan lainnya. 

Bukan tidak sering pula saya mendengar komplain dari ulama Indonesia yang sangat pakar dalam berbagai bidang ilmu keislaman seperti tafsir dan fikih, karena cenderung dipandang ‘sebelah mata’ oleh ulama-ulama Timur Tengah. Padahal, ulama-ulama Indonesia tersebut bukan hanya sekadar lulusan universitas terbaik dan terunggul di Timur Tengah, tetapi juga telah menghasilkan karya-karya monumental dan terbaik dalam bidangnya.

Seperti diakui Markaz al-Qahirah, Dunia Arab mengalami kekurangan pengetahuan tentang bagaimana sesungguhnya Islam di kawasan non-Arab; pengalaman dan prestasi apa yang dicapai kaum Muslimin non-Arab. Padahal, dinamika pembaruan wacana keagamaan umumnya --tidak hanya tentang HAM-- di kawasan non-Arab patut menjadi bahan pemikiran bagi para pemikir di Dunia Arab dalam rangka dinamisasi dan keberlangsungan pembaruan wacana Islam di kawasan mereka.

Lebih jauh, Markaz al-Qahirah, dalam kritik diri, menyatakan, Dunia Arab dan para pemikir Muslim di kawasan ini memerlukan peninjauan ulang dan revisi terhadap wacana Islam yang mereka kembangkan selama ini; yang menganggap bahwa hanya wacana Muslim Arab saja yang paling sahih dan, karena itu, harus diikuti kaum Muslimin di kawasan lain Dunia Muslim. Menurut Markaz al-Qahirah, pemikiran dan gerakan Muslim Arab seyogianya tidak lagi mengabaikan dinamika wacana Islam di kawasan-kawasan Muslim non-Arab.

Sejauh ini, menurut Markaz al-Qahirah, sebagian pemikir dan gerakan Muslim Arab hanya mengambil wacana Islam dari Abu al-A’la al-Mawdudi, pemikir dan pemimpin organisasi Jama’at Islami, Pakistan. Pemikiran al-Mawdudi, pada gilirannya mempengaruhi Sayyid Qutb, yang dalam penilaian Markaz al-Qahirah, mendorong radikalisasi gerakan Islam di berbagai tempat di Dunia Arab. Sebagai respons terhadap radikalisasi tersebut, rezim-rezim penguasa di Dunia Arab tidak hanya menerapkan kebijakan-kebijakan yang melanggar HAM, tetapi lebih jauh lagi melakukan penindasan dan kekerasan terhadap gerakan Islam. Hasilnya adalah terciptanya lingkaran kekerasan dan teror antara negara pada satu pihak melawan gerakan-gerakan radikal Islam pada pihak lain, dan sebaliknya.

Kerangka berpikir dan argumen Markaz al-Qahirah, bagi saya, merupakan assessment langka untuk bisa ditemukan di Dunia Arab atau bahkan Timur Tengah secara keseluruhan. Hemat saya, Dunia Arab dan kawasan-kawasan Muslim lainnya perlu belajar satu sama lain, dan saling mengambil manfaat sebesar-besarnya dari berbagai wacana dan pengalaman untuk kemaslahatan umat Muslimin dan kemanusiaan secara keseluruhan. Sudah waktunya, kaum Muslimin di satu kawasan tertentu di Dunia Muslim menghilangkan sikap superioritas terhadap umat Muslimin di kawasan lain. Jika ini bisa dilakukan --seperti diharapkan Markaz al-Qahirah-- kaum Muslimin dapat memberikan kontribusi lebih bermakna kepada pembangunan peradaban dunia yang lebih harmonis, damai, dan toleran.

_____________________
Azyumardi Azra, Jejak-jejak Jaringan Kaum Muslim, hal:39-42. Jakarta Selatan: Hikmah, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ar Yu ReDEY..?!